IndRI
Indri masih diam memaku di depanku. Saya pun sesaat diam untuk memberi kesempatan ia berkata-kata. Atau minimal membiarkannya menghela napas dalam dengan rasa bebas. Tapi Indri tidak melakukan apa-apa. Tatapannya kosong, keningnya yang lapang semakin memperjelas kehampaan. Rambutnya yang sedikit ikal tersisir rapi dalam dua belahan ke belakang. Lalu Indri menunduk membenarkan baju ungu yang dikenakannya, kembali menatapku. Dan masih tanpa suara.
"Kartu Kesehatan kamu terpaksa dikembalikan oleh perusahaan," kata saya sekali lagi. "Kalau kamu masih berharap bahwa cuti kehamilanmu disetujui untuk mendapatkan biaya ganti, mestinya kamu mau mendengarkan saranku."
Indri hamil. Sebagaimana biasanya, setiap buruh wanita yang hamil akan mendapatkan uang dan kesempatan cuti hingga masa persalinannya. Ia sudah mengajukan sekitar dua minggu yang lalu, tetapi hari ini Kartu Kesehatan yang disertakan dalam pengajuan cutinya kembali. Alasannya, tidak tercantum nama suaminya.
"Saya harus mengisi siapa?" tanya Indri. Saya sudah menduga ia akan mempertanyakan hal itu. "Itulah maksud saya, sedikit direkayasa kan tidak apa-apa. Untuk sementara saja, daripada kamu malah tidak mendapatkan hakmu!" jawab saya, karena saya pikir itu akan ikut membantunya.